JANGAN BICARA GIZI BURUK

Setiap tanggal 25 Januari diperingati sebagai Hari Gizi Nasional. Seperti hari peringatan lain, biasanya hanya berupa kegiatan seremonial untuk menunjukkan eksistensinya saja, karena itu meskipun ada yang memperingatinya dengan rasa optimis tetapi tidak sedikit yang merasa pesimis. Betapa tidak, karena sampai hari ini masih sering (kalau tidak mau dibilang banyak) ditemukan kasus gizi buruk di masyarakat. Seharusnya, semakin intens sosialisasi tentang gizi buruk melalui berbagai cara termasuk acara peringatan akan lebih memberikan tenaga untuk menekan timbulnya masalah gizi buruk di masyarakat.

Gizi buruk merupakan masalah yang banyak mendapat perhatian dari berbagai pihak bahkan kadangkala dijadikan salah satu komoditas untuk kepentingan politis. Hal itu menunjukkan adanya kepedulian sekaligus menegaskan bahwa gizi buruk merupakan masalah multifaktorial. Sayangnya kenyataan itu belum sepenuhnya disadari oleh semua pihak yang mestinya terlibat sehingga dalam melakukan penanggulangan masih terkesan berjalan sendiri-sendiri. Lebih celaka lagi kalau ada pihak yang sebenarnya tidak melakukan perannya justru menyalahkan pihak lain yang sudah banyak berbuat meskipun belum optimal.

Gizi buruk bukan produk jadi tetapi terbentuk melalui proses yang kompleks karena dipengaruhi berbagai faktor. Faktor utamanya tentu saja karena asupan gizi yang kurang dan adanya infeksi penyakit. Faktor itu secara langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan dalam keluarga, perawatan kesehatan, dan kondisi perumahan. Sedangkan tingkat pendidikan, pengetahuan dan keadaan sosial ekonomi secara tidak langsung ikut andil pada terjadinya gizi buruk. Banyaknya faktor yang berhubungan dengan terjadinya gizi buruk menuntut banyak pihak yang harus berperan untuk menanggulanginya. Mulai dari peran keluarga, masyarakat sekitar dan lembaga atau institusi baik pemerintah maupun swasta. Banyaknya pihak yang terkait tentunya menimbulkan tantangan tersendiri khususnya dalam koordinasi dan pembagian peran untuk mencapai tujuan yang sama yaitu terbebas dari gizi buruk.

Ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan secara terpadu agar kejadian gizi buruk berkurang (kalau tidak bisa dihilangkan) yaitu menemukan semua kasus gizi buruk, memulihkannya dan mencegah terjadinya kasus baru. Untuk menemukan kasus gizi buruk diperlukan usaha bersama antara pemerintah dan masyarakat. Caranya bisa bermacam-macam tetapi yang penting menggunakan kriteria yang sama sehingga gizi buruk yang ditemukan masyarakat benar-benar gizi buruk menurut terminologi kesehatan. Disinilah pentingnya memberikan edukasi dan perangkat sederhana yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk menilai status gizi. Selama ini upaya penemuan kasus gizi buruk masih bertumpu pada Posyandu sehingga bagi mereka yang tidak berposyandu akan terlewat untuk dipantau status gizinya dan biasanya baru ketahuan sudah terlanjur gizi buruk ketika kontak dengan petugas kesehatan pada saat mencari pengobatan akan penyakit yang dideritanya. Keberadaan dan aktivitas posyandu memang efektif dalam mendeteksi gizi buruk apalagi kalau mau memperluas jaringan misalnya ke kelompok arisan atau pengajian, tentu akan dapat menjaring lebih banyak kasus gizi buruk. Masalahnya adalah bisakah pimpinan suatu wilayah menerima dengan lapang dada bahwa di wilayahnya terdapat banyak gizi buruk?

Setelah semua gizi buruk ditemukan langkah selanjutnya adalah memulihkan keadaan gizinya. Pada tahap ini peranan institusi kesehatan (Puskesmas dan rumah sakit) terlihat sangat nyata khususnya dalam menangani gizi buruk dengan komplikasi penyakit penyerta. Pemulihan kasus gizi buruk biasanya membutuhkan waktu yang lama karena itu akan menghabiskan biaya yang relatif besar. Pemerintah (daerah) biasanya kurang tertarik untuk membiayai kegiatan yang tidak secara langsung mendatangkan profit. Disisi lain petugas kesehatan kurang mampu meyakinkan birokrat bahwa perbaikan gizi merupakan investasi yang dalam jangka panjang akan dapat menghemat pengeluaran untuk pembiayaan kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif.

Pemulihan gizi buruk yang tidak disertai gejala klinis sebenarnya dapat dimitrakan bersama masyarakat. Adalah wajar jika pemerintah yang lebih dulu mengeluarkan anggaran sebelum akhirnya mengajak masyarakat/swasta untuk ikut berpartisipasi dalam pembiayaan untuk kepentingan sosial ini. Peran pemerintah lebih pada pembimbingan teknis dan pembiayaan sedangkan mayasarakat dapat diberdayakan untuk mengelola dan merawat gizi buruk di masyarakat. Jika dibicarakan dengan terbuka masih adakah yang menolak untuk diajak ke surga?

Mencegah merupakan kegiatan yang paling strategis dalam rangkaian proses eliminasi gizi buruk. Gizi buruk tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi melalui proses secara bertahap. Balita yang normal (berat badannya sesuai dengan tinggi badannya) jika tidak mendapat asupan gizi yang memadai dalam jangka waktu tertentu akan menjadi gizi kurang (berat badannya tidak sesuai lagi dengan tinggi badannya). Kalau keadaan ini berlanjut terus barulah keadaannya menjadi gizi buruk (berat badannya sangat tidak sesuai dengan tinggi badannya). Mencegah seharusnya dimulai dari awal, tidak menunggu kondisi memburuk. Justru disinilah titik lemah penanggulangan gizi buruk. Masing-masing sektor sebenarnya telah berbuat sesuatu untuk mencegah gizi buruk. Beberapa contoh yang dapat disebutkan misalnya penyediaan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI), pemberian suplemen gizi (vitamin A dan zat besi), dan pemberian obat cacing. Agak lebih kedepan ada gerakan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), promosi gizi seimbang dan ASI eksklusif. Lebih ke depan lagi, ada upaya peningkatan pendidikan, ketahanan pangan, pemberdayaan ekonomi, sampai pada pengentasan kemiskinan. Semua kegiatan itu kalau disinergikan dalam satu visi tentu akan lebih dahsyat dibandingkan dengan hasil kerja sektoral.

Merubah pola pikir dan perilaku memang tidak mudah. Diperlukan usaha yang ekstra keras dan terus menerus dalam menyuarakan pentingnya kerjasama dalam menanggulangi masalah yang komplek seperti gizi buruk ini. Yang paling penting adalah jangan menjadikan gizi buruk hanya sebagai bahan pembicaraan saja. Tidak mengapa kalau maksudnya untuk mengajak peduli, tetapi akan menjadi kontra produktif jika hanya sekedar menyampaikan kabar buruk apalagi tanpa didukung data yang benar. Sekaranglah saatnya menyatukan tujuan dalam bentuk tindakan nyata. Jangan bicara, melainkan sambil bekerja.

Leave a comment